Halo sahabat FAV (Film, Animasi & Video), disini admin mau menceritakan suatu cerpen tentang seorang anak bangsawan, memang sih cerpen ini sedikit OOT (Out of Topic)
dari FAV, tapi tetap intinya PK (Postingan Keren).
Ekspresi Bangsawan
Namaku
Rama. Aku siswa kelas 2 di SMA Penerus Generasi Bangsa. Aku baru - baru saja di
pindahkan ke sekolah ini. “Semoga saja di Sekolah ini banyak hal yang
menyenangkan” harapku.
“Hai Rama” sapa Sinta.
“Hai Rama” sapa Sinta.
“Selamat Pagi Sinta,
hari yang cerah” balasku datar.
“Hari yang cerah?”
tanya Sinta heran.
“Uh ... bukan apa – apa”
balasku.
Memang
sebelum pindah ke sekolah ini, aku bersekolah di SMA khusus keluarga bangsawan,
karena itu aku masih terbiasa dengan hal-hal formal yang wajib dilakukan di
sekolah ku dulu.
Bel
sekolah berdering, aku pun menyegerakan langkah ku kedalam kelas. “Kriek” suara
pintu kelas kubuka, tiba-tiba “Byuurrr” seember air menumpahi seluruh tubuhku.
Lontar saja semua siswa yang berada di kelas XI-IA-4 itu tertawa terbahak –
bahak menyaksikan komedi gratisan di pagi hari. Aku hanya bisa tersenyum dalam
hati dan melanjutkan langkah kakiku ke dalam kelas dengan kondisi basah serasa
habis lari lapangan tujuh kali. Kursi belakang nomor dua dari kiri pun segera
kududuki. Kursi itu merupakan kursi keseharianku selama beberapa hari di
sekolah ini. Setelah duduk, tiba – tiba kudengar suara malaikat seraya berkata “Nih
pakai saputanganku untuk mengeringkan airnya”.
Spontan saja jantungku
berhenti berdetak, “deg”. Ternyata kalau dilihat dari dekat Sinta sangat
cantik, bagai permata yang berkilau di pelupuk mataku.
“Jangan masukkan hati
ya perbuatan Juna, dia memang suka usil, bahkan guru pun pernah dia kerjain”
lanjut Sinta. Aku terdiam beribu bahasa, memikirkan kata – kata yang tepat
untuk menjawabnya.
“Terima kasih” jawabku
datar. Memang aku tak ahli dalam hal mengekspresikan emosi wajah, sedang sedih
maupun bahagia wajahku akan tetap datar. Sudah kucoba beragam cara untuk
tersenyum sedikit, tetapi sangat sulit sekali, mungkin itu adalah efek samping
menjadi keluarga bangsawan.
Bel
sekolah pun berdering untuk yang ke 9 kalinya dalam hari ini, hal itu
menunjukkan bahwa sudah saatnya waktu pulang, segera ku masukkan segala
perlengkapan sekolahku ke dalam tas merah bercorak hitam dengan tulisan huruf
Bahasa Jepangku itu. Sejak kecil aku memang sering berwisata ke negeri matahari
terbit bersama kedua orang tuaku, untuk mengunjungi rumah kakek, alias mudik
internasional. Rumah kakekku dahulu memang di Jepang, karena beliau adalah
keturunan dari keluarga bangsawan Jepang, Keluarga Kuchiki, namun sekarang
kakekku berkediaman di dekat rumahku. Walaupun sekarang kakek tidak di Jepang
lagi, aku tetap suka pergi ke Negeri Matahari Terbit tersebut untuk tujuan
wisata belaka.
Hari
ini memang sengaja aku tidak minta dijemput oleh sopir pribadiku, karena ada
sesuatu yang ingin kulakukan tanpa sepengetahuan keluargaku. Langkah demi
langkah telah kutempuh, hingga sampai pada Jalan Kumala No. 58 langkah kakiku
terhenti. Aku melihat ada sekumpulan laki-laki dewasa berpakaian seperti preman
sedang mengerumuni beberapa anak berpakaian seragam SMA. Memang banyak orang
berkata di daerah Jalan Kumala No. 58 ini banyak terjadi penodongan dan
penjambretan. Ketakutan dan kengerian langsung menyambar perasaanku saat itu,
namun tetap saja mimik wajahku tidak berubah segorespun. Setelah kuamati lebih
dekat lagi, ternyata siswa SMA itu tidak lain teman sekelasku sendiri, mereka
adalah Juna dan teman – temannya. Lontar saja aku lari menuju kerumunan itu,
hingga mencapai 3 meter dari kerumunan itu aku berkata “jangan ganggu mereka”. “Siiiiing....”
semua mata tertuju pada ku, Juna dan teman – temannya terbelalak melihat
sesosok Rama yang dikenal pecundang karena kejadian tumpahnya seember air tadi
pagi menjadi sesosok pahlawan penyelamat bagi mereka.
“ HAHAHAHAHAHAHAHA”
tawa para preman jalanan itu,
“ada pahlawan kesiangan
rupanya, HAHAHAHAHAHAHAHA”, sahut salah seorang preman lainnya.
“Kalianlah yang Preman
kesiangan” balasku datar.
Mendengar
kata – kata ku yang seperti petir menyambar disiang hari, preman – preman itu
langsung marah dan mengejarku. Mereka berusaha mengeroyokku namun
“Bushshshshsh” kepulan gas putih seketika menyerebak di antara preman-preman
itu. Mereka terbatuk-batuk dan tak bisa melihat apapun, yang mereka lihat hanya
segumpalan gas berwarna putih. Melihat para preman itu tak berdaya aku langsung
mengajak Juna dan teman – temannya lari dari para preman itu.
Setelah
puluhan meter jauh dari Jalan Kumala No. 58, Juna bertanya kepadaku
“Sebenarnya tadi itu
apa?”,
“reaksi antara gas Platinum
heksaflorida (PtF6) yang sangat reaktif dengan oksigen akan
menghasilkan padatan [02]+[PtF6]- yang
jika dijatuhkan ataupun dibanting akan menimbulkan ledakan gas putih dengan
radius 4 meter” jawabku datar.
“waw, luar biasa..”
sahut Roy,
“Bagaimana kau bisa
menciptakannya? Itu reaksi yang diperlukan perhatian tingkat tinggi, melihat
reaksi itu adalah reaksi yang reaktif?” timpal Kira.
“Bagaimanapun juga kami
berterimakasih atas bantuanmu” kata Luffi.
“Tak usah
berterimakasih, itu hanyalah tugas seorang teman untuk membantu sesama”
jawabku. Entah kata – kata bijak darimana yang kulantarkan barusan. “Ciiiit..
Suara mobil Jaguar hitam tepat berhenti didepan kami berlima. “Ayo den, sudah
ditunggu Ojiisama” Ojiisama adalah sebutan untuk kakek
dalam bahasa Jepang di kalangan keluarga bangsawan. Segera ku pamit dengan
Juna, Roy, Kira dan Luffi,
“ayo ada yang mau
bareng kuantar kerumah kalian?” tanya ku.
“Nggak usah Ram, rumah
kita sudah dekat kok”, jawab Roy.
“oke, duluan ya” kataku
sambil menutup pintu mobil Jaguar terbaru keluaran 2011 ini.
Setelah
lewat beberapa jauh, aku bertanya kepada Pak Nadi, sopir pribadiku
“memang ada apa dengan Ojiisama pak?” ,
“Ojiisama masuk rumah sakit, penyakitnya tidak semakin baik setelah
operasi di Singapura kemarin” balas Pak Nadi.
“Antarkan ke pasar dulu
ya pak” pintaku datar.
“Ke pasar? Tidak
langsung ke Rumah Sakit den?” tanya Pak Nadi heran.
“Enggak pak, mau beli
buah Pome kesukaan Ojiisama dulu”,
jawabku,
“Baik den” balas Pak
Nadi.
Sesampainya dipasar aku langung membeli Separsel Buah
Pome yang sudah dihias apik. Dan segera kembali ke mobil untuk beranjak ke
rumah sakit. Diperjalanan bayangan masa lalu kakek terus menghujani pikiranku,
terbayang masa – masa menyenangkan bersama kakek, dimanja, diajak jalan – jalan
ke luar negeri, digendong dipunggung kakek, bermain bersama kakek, memancing
ikan di kolam ikan hingga aku tercebur. Tak terasa setetes air matapun menetes
di telapak tanganku. Langung saja ku usap dengan sapu tangan pemberian Sinta
tadi pagi. Melihat aku mengusap air mata, Pak Nadi bertanya,
“Ada apa den? Ada yang
tertinggal di sekolah?”
“Bukan apa – apa pak”,
jawab ku datar. Sudah kukatakan bahwa dalam keadaan apapun aku tidak bisa
mengekspresikan mimik wajahku sesdikitpun, termasuk juga saat menangis, yang
bisa ku ekspresikan hanyalah menutup mata. Tak terasa kaca mobil telah
mencerminkan bayangan rumah sakit tempat Ojiisama
dirawat.
“Pak Nadi langsung
pulang saja, aku agak lama di sini” kataku datar ke Pak Nadi.
“Iya den, nanti kalau
minta dijemput telepon saja den” balas Pak Nadi.
“Baik pak”, kataku
datar.
“Mari den”, sapa Pak
Nadi seraya meluncurkan mobil ke luar rumah sakit.
Langkah demi langkah ku jalani menuju resepsionis dengan menenteng parsel berisikan buah
Pome.
“Nomor kamar Pasien
Yamada Kuchiki?” tanyaku kepada sesosok suster cantik berambut panjang.
“Tunggu sebentar pak,
sedang kami cari di komputer” jawab suter cantik itu.
“Kamar Sakura nomor 1A”
jawab suster itu.
Segera
ku melangkahkan langkah ku ke kamar itu. Di dalam perjalanan menuju kamar itu pikiranku
sudah tak karuan. Aku bahkan membayangkan hal – hal negatif yang akan terjadi.
Memang sudah lama kakekku mengidap penyakit kronik.
“Sudah ratusan kali
masuk rumah sakit, mungkin sekarang ini adalah yang terakhir kalinya”, lanturku
dengan ekspresiku datar. Kupercepat langkahku menuju kamar Sakura tersebut.
“Kriek” suara pintu kamar Sakura nomor 1A kubuka. Kulihat kakekku sedang
tertidur di kasur rumah sakit. Segera ku taruh parsel isi buah Pome ke atas
meja. Mendengar suara gesekan parsel dengan meja, tiba – tiba kakek terbangun.
“Rama, sudah lama?”,
tanya kakek kepadaku.
“Baru saja Jiisama”, ujar ku sopan. Jiisama adalah sebutan untuk menyapa Ojiisama (kakek) di keluarga bangsawan
Jepang.
“Bagaimana keadaan Jiisama sekarang?”
“Semakin memburuk,
mungkin hari ini adalah hari terakhir kakek di rumah sakit ini”, kata kakek
“Maksud kakek?”,
tanyaku heran.
“Terimakasih sudah
dibawakan buah Pome ya Ram”, ucap kakek, seraya memegang tangan ku.
“Maafkan kakek apabila
kakek pernah berbuat salah kepadamu ya Ram” ujar kakek terbata – bata.
“Apa maksud kakek?”,
tanyaku semakin heran.
Kakek pun menjawab “Dari
tadi kakek menunggumu Ram, kakek ingin melihatmu untuk yang terakhir kalinya,
serta kakek ingin meminta maaf apabila kakek pernah berbuat salah pada mu Ram.
Terimakasih ya sudah jadi cucu kakek yang baik, pintar dan selalu menuruti
perkataan kakek, jangan pernah marah apabila diganggu orang lain. Terima kasih
ya Ram....”.
“TIIIIIIIIIIIIIIIIIT”,
suara Otetoskop seraya memotong perkataan kakek.
“Kek... Kek.. Kakek...
KAKEK!!!!”, teriakku seraya ingin menarik roh kakek kembali ke tubuhnya.
Malam itu juga kakekku dimakamkan, banyak keluarga
bangsawan yang hadir dalam upacara pemakamannya. Ayah dan ibu beserta keluarga
dekat lainnya memimpin jalannya pemakaman. Aku sangat sedih, kakek yang ku
sayangi kini telah tiada. Kenangan masa kecilku bersama Kakek bertubi - tubi
mendera memoriku, seraya dialuni lantunan lagu Tak Ada yang Abadi.
Takkan
selamanya tanganku mendekapmu
Takkan
selamanya raga ini menjagamu
Seperti
alunan detak jantungku
Tak
bertahan melawan waktu
Dan
semua keindahan yang memudar
Atau
cinta yang telah hilang
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Biarkan
aku bernafas sejenak
Sebelum
hilang
Takkan
selamanya tanganku mendekapmu
Takkan
selamanya raga ini menjagamu
Jiwa
yang lama segera pergi
Bersiaplah
para pengganti
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Hatiku
sangat terisak – isak, air mataku menetes tetes demi tetes, namun aku tetap
tidak bisa mengekspresikannya dengan mimik wajahku, yang terlihat diwajahku
pada saat itu hanya mata yang tertutup dan berurai air mata. Aku tak tahu
bagaimana caranya mengekspresikannya, aku ingin sekali menangis darah, aku
ingin sekali membuat mimik mukaku bergerak.
“Yang tabah ya Ram”,
sapa Juna yang tiba – tiba menepuk pundakku dari belakang.
“Juna, Roy, Kira,
Luffi...”, sahutku tercenggang.
“Begitu kami tahu
informasinya dari pak guru, kami langsung kesini Ram, kami turut berduka cita
Ram”, kata Roy.
“Terimakasih...”
jawabku lirih.
“Maaf ya Ram, kami
tidak berada disampingmu saat itu, kamu pasti sangat sedih”, ujar Sinta yang
tiba – tiba datang.
Aku tak kuasa lagi menahan
deruan perasaan yang datang seakan memenuhi isi hatiku, segala perasaan hari
ini seperti flash back. Perasaan
jatuh cinta pada pandangan pertama pada Sinta, perasaan takut saat melihat
teman – teman sedang diganggu preman jalanan, perasaan senang bisa menolong
sesama teman, serta perasaan yang sangat sedih saat ditinggal oleh seseorang
yang sangat dekat padaku, seorang kakek yang tak bisa tergantikan dimataku,
serta perasaan terharu melihat banyak teman - teman yang peduli padaku disaat
aku sedih. Hatiku seakan mau pecah, tak kuasa lagi menahan segala perasaan yang
ada ini, aku pun tak tersadarkan diri.
Keesokan paginya di sekolah,
“Hai Sinta”, suara
bahagia terucap dengan wajah yang berseri – seri.
“Rama??”, tanya Sinta
heran.
“Ada yang salah Sin?”,
tanyaku dengan mengerutkan dahi.
“Kau terlihat berbeda
Ram”, sahut Sinta.
“Masa sih?”, tanyaku.
“Ah lupakan saja, ayo
kita ke kelas sama – sama”, ajak Sinta.
Bel sekolahpun berdering, kami menyegerakan langkah menuju kelas. “Krieeek”, suara pintu kelas terbuka. “Byuuuuur”, seember air langsung tumpah mengenai aku dan Sinta. Namun kali ini berbeda, semua siswa kelas kami tak ada yang tertawa, bahkan mereka bertepuk tangan dan bersiul – siul melihat adegan drama sepasang kekasih berpayung dimusim hujan.\-Rp-
Bel sekolahpun berdering, kami menyegerakan langkah menuju kelas. “Krieeek”, suara pintu kelas terbuka. “Byuuuuur”, seember air langsung tumpah mengenai aku dan Sinta. Namun kali ini berbeda, semua siswa kelas kami tak ada yang tertawa, bahkan mereka bertepuk tangan dan bersiul – siul melihat adegan drama sepasang kekasih berpayung dimusim hujan.\-Rp-
0 komentar:
Posting Komentar